MAKALAH HADIS MENGENAI BAGI HASIL (MUDHARABAH & MUSYARAKAH)


 MAKALAH

HADIS MENGENAI BAGI HASIL

(MUDHARABAH & MUSYARAKAH)

KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, taufik, serta hidayah-Nya. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, sehingga pada penyusunan makalah ini yang berjudul “Hadis Mengenai Bagi Hasil (Mudharabah & Musyarakah)” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Kiranya dalam penulisan ini, kami menghadapi cukup banyak rintangan dan selesainya makalah ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu yaitu :

1.       Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd,I .selaku dosen pengampu pada mata kuliah ini;

 

2.       Dan semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan yang tidak dapat disebutkan satu-satu, kami ucapkan terimakasih.

 

Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Kami berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, 3 Oktober 2022

Penyusun

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR. ii

DAFTAR ISI iii

BAB I 1

PENDAHULUAN.. 1

A.     LATAR BELAKANG.. 1

B.      RUMUSAN MASALAH.. 1

C.      TUJUAN.. 2

BAB II 3

PEMBAHASAN.. 3

1.1.       Pengertian Mudharabah dan Musyarakah. 3

1.2.       Hadis Dan Landasan Lain Tentang Bagi  Hasil (Mudharabah & Musyarakah). 4

1.3.       Teknisi Pelaksanaan Bagi Hasil (Mudharabah & Musyarakah). 9

BAB III 15

PENUTUP. 15

A.     Kesimpulan. 15

B.      Saran. 16

DAFTAR PUSTAKA.. 17

 

 



BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG

 

Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Terdapat saling ketergantungan antara satu sama lain. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya. Di lain pihak, ada yang memiliki kemampuan (skill) namun tidak memiliki modal. Karena itulah Islam menganjurkan untuk melakukan kerjasama dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam transaksi ekonomi dan bisnis. Kerjasama adalah upaya untuk saling mendorong dan menguatkan satu sama lain dalam menggapai kesejahteraan dan tujuan bersama. Dari kerjasama akan melahirkan sinergi untuk lebih menjamin tercapainya tujuan hidup secara harmonis.

Banyak bentuk dan model kerjasama yang dapat dilakukan dalam Islam, tetapi yang paling banyak dilakukan dalam ekonomi Islam adalah mudharabah dan musyarakah. Karena itu agar kerjasama sesuai dengan prinsip ekonomi Islam, berikut ini akan dipaparkan beberapa hadits terkait dengan kemitraan (mudharabah dan musyarakah), serta Bagaimana teknisi pelaksanaan bagi hasil (mudharabah& musyarakah.

 

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana pengertian mudharabag dan musyarakah?

2.      Apa salaja hadist dan landasan lain tentang bagi  hasil (mudharabah  & musyarakah)?

3.      Bagaimana teknisi pelaksanaan bagi hasil (mudharabah & musyarakah) ?

 

C.     TUJUAN

1.      Untuk mengetahui pengertian mudharabah dan  musyarakah.

2.      Untuk mengetahui hadis dan landasan lain tentang bagi  hasil (mudharabah & musyarakah).

3.      Untuk mengetahui teknisi pelaksanaan bagi hasil (mudharabah& musyarakah). .


 


BAB II
PEMBAHASAN

1.1.            Pengertian Mudharabah dan Musyarakah.

a)      Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah.[1] (sabiq, kamaludin, marzuki , & syaf, 1986, hal. 220)

Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang berartial-qath‟u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.[2] (khalafi, ali, ba' Mualim, abd. aziz, & jalil, 2006, hal. 359)

Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.[3] (maruta, 2019, hal. 82)

b)      Musyarakah

Syirkah merupakan kata yang berasal dari kata ‘isytirak’ yang berarti perkongsian, diartikan demikian, karena syirkah merupakan perkongsian dalam hak untuk menjalankan modal.[4] (mustofa, 2016, hal. 149)

Wahbah al-Zuhaili sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa mendefinisikan syirkah secara bahasa “Syirkah adalah percampuran yaitu bercampurnya suatu modal dengan lainnya, sampai tidak dapat dibedakan antara keduanya.[5] (mustofa, 2016, hal. 149)

Musyarakah ialah akad perjanjian kerjasama atau penggabungan antara dua pihak atau lebih untuk melaksanakan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif tertentu dengan kesepakatan bahwa keuntungan dibagi menurut proporsi yang disepakati dan risiko ditanggung secara proporsional.[6]  (wiyono & maulamin, 2013, hal. 102)

1.2.            Hadis Dan Landasan Lain Tentang Bagi  Hasil (Mudharabah & Musyarakah)

 

a)      Hadis

Tentang  mudharabah:

Hadis riwayat Imam Baihaqi dari Ibnu Abbas:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِذَا دَفَعَ مَالًا مُضَارَبَةً اشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لَا يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا وَلَا يَشْتَرِىَ بِهِ ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ فَإِنْ فَعَلَ فَهُوَ ضَامِنٌ فَرُفِعَ شَرْطُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ –صَلّى الله عليه وسلم – فَأَجَازَهُ

 

“Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. AlBaihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra(6/111))[7]

Hadist diatas merupakan Al-Sunnah al-taqririyah atau persetujuan Rasulullah SAW terhadap perilaku atau tindakan sahabat yang mempraktikkan mudharabah. Praktik Mudharabah dalam hadist ini menjelaskan mengenai praktik mudharabah muqayyadah. Mudharabah muqayyadah adalah mudharabah yang pemilik modal menentukan persyaratan kepada pengelola usaha seperti menentukan jenis usaha, lokasi, jangka waktu, dan tujuan usaha harus sesuai dengan kesepakatan dan apa yang telah ditentukan oleh pemilik modal.[8]

 Hadis riwayat Ibnu Majah

عَنْ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ دَاوُدَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ –صَلَّى الله عليه وسلم- [[ ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرْكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَإِخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لَا لِلْبَيْعِ ]]

“Dari Abdirrahman bin Dawud dari Sholih bin Shuhaib dari ayahnya berkata: “Bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Ada tiga hal yang di dalamnya berisi berkah, yaitu: “jual-beli tidak secara tunai, menyerahkan permodalan dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)[9]

Kalimat “ Keberkahan ’’ dalam hadist diatas mengindikasikan diperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini, maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan bertambah karena akan mendapat financial return.[10] (rodin, 2015, hal. 188)

Dalam hadist ini istilah muqaradhah adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Hijaz untuk menyebut mudharabah ( yang digunakan penduduk irak ), Istilah muqaradhah berasal dari kata qardh yang artinya “ memotong ’’. Dalam hal ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. Ada juga yang berpendapat berasal dari muqaradhah yang artinya       “ persamaan atau penyeimbangan ’’. Dalam hal ini kedua belah pihak sama-sama berhak atas keuntungan, atau adanya keseimbangan antara modal dari pemilik modal dan usaha dari pengelola modal.[11] (zuhaili, 2006, hal. 3923)

Hadis tentang musyarakah:

عَنْ أَبِى حَيَّانَ التّيْمِىِّ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ : إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ أَنَا ثَالِثُ شَرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا

“Dari Abu Hayyan al-Taimi dari ayahnya dari Abu Hurairah (marfu’) Rasulullah.Saw bersabda : sesungguhnya Allah Swt. Berfirman ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama salah satu di antara mereka tidak menghianati lainnya, apabila salah seorang di antara mereka menghianati lainnya, maka Aku keluar dari persekutuan mereka.”    ( HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)

Hadis ini menerangkan bahwa jika dua orang bekerjasama dalam satu bisnis, maka Allah ikut menemani dan memberikan berkah-Nya, selama tidak ada teman yang mengkhianatinya. Kita contohkan koperasi. Koperasi akan jatuh nilainya jika terjadi penyelewengan oleh pengurusnya. Inilah yang diperingatkan Allah SWT, bahwa dalam berkoperasi masih banyak jalan dan cara yang memungkinkan untuk berkhianat terhadap sesama anggotanya. Itulah koperasi yang dijauhi atau tidak mendapatkan berkah dari Allah SWT, maka kejujuran harus diterapkan kembali.

Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:

الصُّلْحُ جَاءِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi)[12]

Dalam hadist ini menjelaskan bahwa seluruh macam perdamaian antara kaum muslim itu boleh dilakukan selama tidak menyebabkan pelakunya terjerumus kedalam suatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Rasulullah Saw. bersabda :

يَدُ اللهِ عَلَى الشِّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَتَخَاوَنَا

“Pertolongan Allah akan selalu menyertai dua pihak yang berkongsi atau bersekutu, selama mereka tidak saling menghianati.”(HR. Bukhari)

b)      Al Quran

Firman Allah yang mengatur akad mudharabah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ

 Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al- Ma‟idah: 1)

 

 

Firman Allah yang mengatur akad musyarakah:

قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلٰى نِعَاجِهٖۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاۤءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْۗ وَظَنَّ دَاوٗدُ اَنَّمَا فَتَنّٰهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهٗ وَخَرَّ رَاكِعًا وَّاَنَابَ ۩

“Dan, sesungguhnya kabanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh.”(Shaad:24)

 

c)      Ijma

musyarakah

Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mugni telah berkata, “kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.”[13] (antonio, 2004, hal. 91)

 

Mudharabah:

 

Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka.karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma‟[14]

1.3.            Teknisi Pelaksanaan Bagi Hasil (Mudharabah & Musyarakah)

 

Mudharabah

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhoribmemanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[15] (sabiq, kamaludin, marzuki , & syaf, 1986, hal. 221)

Sebagai sebuah akad, mudharabah memiliki syarat dan rukun.Imam AnNawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:

1.      Modal.

2.      Jenis usaha.

3.      Keuntungan.

4.      Shighot (pelafalan transaksi)

5.      Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhahkarya imam Nawawi (5/117))

Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:

1)      Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2)      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

                                                               i.      Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

                                                             ii.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

                                                            iii.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3)      Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a.       Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b.      Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4)      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a.       Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b.      Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5)      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

b.      Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari‟ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad(terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang.Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” [16] Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111)

Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal.Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya.Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).[17]

Musyarakah

Rukun dan ketentuan syariah dalam akad musyarakah

1.      Unsur – unsur yang harus ada dalam akad musyarakah ada 4 :

a.       Pelaku terdiri dari para mitra

b.      Objek musyarakah berupa modal dan kerja

c.        Ijab qabul

d.      Nisbah keuntungan (bagi hasil)

2.       Ketentuan syariah

a.       Pelaku : mitra harus cakap hukum dan baligh

b.      Objek musyarakah:

3.      Modal :

a.       Modal yang diberikan harus tunai,

b.      Modal yang diserahkan dapat berupa uang tunai, emas, asset perdagangan atau asset tak berwujud seperti hak paten dan lisensi. 

c.       Apabila modal yang diserahkan dalam bentuk nonkas, maka harus ditentukan nilai tunainya terlebih dahulu dan harus disepakati bersama.

d.      Modal para mitra harus dicampur, tidak boleh dipisah.

4.      Kerja :

a.       Partisipasi mitra merupakan dasar pelaksanaan musyarakah

b.      Tidak dibenarkan jika salah satu mitra tidak ikut berpartisipasi

c.       Setiap mitra bekerja atas dirinya atau mewakili mitra‟

d.      Meskipun porsi mitra yang satu dengan yang lainnya tidak harus sama, mitra yang bekerja lebih banyak boleh meminta bagian keuntungan lebih besar.

5.      Ijab qabul

Ijab qabul disini adalah pernyataan tertulis dan ekspresi saling ridha antara para pelaku akad.

6.      Nisbah

a.       Pembagian keuntungan harus disepakati oleh para mitra.

b.      Perubahan nisbah harus disepakati para mitra.

7.      Keuntungan yang dibagi tidak boleh menggunakan nilai proyeksi akan tetapi harus menggunakan nilai realisasi keuntungan.

8.      Berakhirnya akad musyarakah

a.       Jika salah satu pihak menghentikan akad

b.      Salah seorang mitra meninggal atau hilang akal. Dalam hal ini bisa digantikan oleh ahli waris jika disetujui oleh para mitra lainnya.

c.       Modal musyarakah habis.[18] (uthmani, 2002, hal. 11)

 


 


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Dalam bermuamalah kita sering melakukan bentuk kerjasama antara kedua belah pihak. Dalam islam kerjasama tersebut diatur dalam sebuah akad (perjanjian) mudharabah dan musyarakah. Mudharabah yaitu suatu akad dari kedua belah pihak untuk melakukan kerjasama dalam suatu usaha atau bisnis. Dimana pihak pertama disebut shahibul mal (pemilik dana) dan pihak kedua disebut mudharib (pengelola modal). Musyarakah yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Akad mudharabah & musyarakah,merupakan akad bermuamalah yang diperbolehkan dalam islam. Mudharabah dan musyarakah menggunakan prinsip bagi hasil, sedangkan murabahah menggunakan prinsip jual beli.Pada umumnya akad-akad tersebut diterapkan pada perbankan syariah. Akad mudharabah diterapkan pada penghimpunan dana maupun pembiayaan. Pada penghimpunan dana misalnya ada tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Sedangkan pembiayaan mudharabah sudah umum dilakukan antara perbankan syariah dengan para nasabahnya. Akad musyarakah tidak ada penerapan dalam penghimpunan dana, yang ada hanya pembiayaan musyarakah antara perbankan syariah dengan para nasabahnya. Demikian juga dengan akad murabahah, tidak digunakan dalam penghimpunan dana melainkan hanya untuk pembiayaan. Namun praktik mudharabah, musyarakah, dan murabahah tidaklah menjadi monopoli perbankan syariah. Akad-akad tersebut dapat juga digunakan atau diaplikasikan oleh perorangan. Akad mudharabah dan musyarakah bisa diterapkan dalam bidang perdagangan, pertanian, peternakan, penangkapan ikan, bahkan industri kecil.Akad murabahah dapat diterapkan pada pembelian barang dagangan ataupun barang konsumsi.

B.     Saran

Demikian makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah hadist. Semoga dapat menambah wacana mengenai hukum bagi hasil dalam islam. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memerlukan penyempurnaan. Oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak kami harapkan untuk menyempurnakan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat dalam membuka lebih jauh wawasan pengetahuan pembaca mengenai hadis dalam bagi hasil musyarakah dan mudarabah.

 


 


DAFTAR PUSTAKA

 

antonio, m. s. (2004). islamic banking bank syariah: dari teori ke praktik . jakarta: gema insan.

azra, a. (2002). paradigma baru pendidikan nasional: rekontruksi dan demokratisasi. jakarta: buku kompas.

bakhtiar, n. (2016). Metodologi Studi Islam. pekanbaru: CAHAYA FIRDAUS.

khalafi, A. a., ali, i., ba' Mualim, m., abd. aziz, a. b., & jalil, a. m. (2006). al wajiz fi fiqhis sunnah wal kitabil aziz. jakarta: pustaka as-sunnah.

maruta, h. (2019). akad bagi hasil. akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah serta aplikasinnya dalam masyarakat, 82.

marwan. (2016). metodoogi studi islam.

mustofa, i. (2016). fiqih muamalat kontemporer. jakarta: rajawali pers.

nasional, f. d. (2000). pembiayaan mudharabah. indonesia: fatwa dewan syariah nasional.

rodin, d. (2015). tafsir ayat ekonomi. semarang: CV: karya abadi jaya.

sabiq, s., kamaludin, a., marzuki , h., & syaf, m. (1986). fiqhus sunnah: jilid III. bandung: alma & apos.

Supadie, D. A. (2012). Pengantar Studi Islam. jakarta: rajawali pers.

uthmani, m. t. (2002). an introduction to islamic finance. USA: kluwer law.

wiyono, s., & maulamin, t. (2013). akuntansi syariah di indonesia . bandung: wacana media.

zuhaili, w. A. (2006). fiqih al islami waadilatuhu. damaskus: dar al fikri.

 



[1] sabiq, s., kamaludin, a., marzuki , h., & syaf, m. (1986). fiqhus sunnah: jilid III. bandung: alma & apos. hal 220.

[2] khalafi, A. a., ali, i., ba' Mualim, m., abd. aziz, a. b., & jalil, a. m. (2006). al wajiz fi fiqhis sunnah wal kitabil aziz. jakarta: pustaka as-sunnah. hal  359.

[3] maruta, h. (2019). akad bagi hasil. akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah serta aplikasinnya dalam masyarakat,  hal 82.

[4] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hal. 149.

[5] Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm. 149

[6] wiyono, s., & maulamin, t. (2013). akuntansi syariah di indonesia . bandung: wacana media. Hal 102.

[7] mustofa, i. (2016). fiqih muamalat kontemporer. jakarta: rajawali pers. Hal 127.

[8] Ibid, hlm. 157-158.

[9] Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Mudharabah.

[10] Dede Rodin, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 188-189.

[11] Wahab al Zuhaili, Al fiqh al Islami wa adilatuhu, Damaskus: Dar al fikr, juz v, tth, hlm. 3923.

[12] Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah.

[13] antonio, m. s. (2004). islamic banking bank syariah: dari teori ke praktik . jakarta: gema insan. Hal 91.

[14]  al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838

[15] sabiq, s., kamaludin, a., marzuki , h., & syaf, m. (1986). fiqhus sunnah: jilid III. bandung: alma & apos. hal 221.

 

[16] al-Ijma‟ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil „Aziz, karya „Abdul „Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359.

[17] maruta, h. (2019). akad bagi hasil. akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah serta aplikasinnya dalam masyarakat, hal 85.

[18] Muhammad Taqi Uthmani, An Introduction to Islamic Finance (USA : Kluwer Law, 2002),hlm. 11.

Komentar

Postingan Populer