JINAYAH



A. Pengertian Jinayah

Jinayah adalah bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayah bermaknakan penganiyaan terhadap badan, harta, atau jiwa. Sedangkan menurut istilah, jinayah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya diwajibkan qishash atau diyat. Jinayah juga bermaknakan sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiyaan atas badan. Dengan demikian tindak penganiyaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiyaan badan disebut dengan jinayah.
Fiqih jinayah adalah mengetahui bebagai ketentuan hukum tentang perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman dan dalil yag terperinci. Jinayah adalah tindakan kriminal atau tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.
Tujuan disyariatkannnya adalah unrtuk memelihara akal, jiwa, harta, dan keturunan dan untuk memperbaiki individu dalam menciptakan masyarakat yang tertib dan aman

B. Ruang Linkup Jinayah

Jinayah adalah sebuah kajian ilmu hukum Islam yang berbicara tentang kejahatan. Dalam istilah yang lebih populer, hukum jinayah disebut juga dengan hukum pidana Islam. Adapun ruang lingkup kajian hukum pidana Islam ini meliputi tindak pidana qishas, hudud, dan ta’zir
1. Qishas
Qishas adalah penjatuhan coba sanksi yang sama dengan yang telah pelaku lakukan terhadap korbannya, misalnya pelaku menghilangkan nyawa korbannya,
maka ia wajib dibunuh. Kecuali, keluarga korban memaafkan si pelaku, maka pelaku hanya akan dikenakan denda yang dinamakan dengan diat atau denda sebagai pengganti dari hukuman seperti pembunuhan.

a. Syarat-syarat qishas
  1. Si pelaku adalah orang yang sudah dewasa, maka tidak akan terjadi kisas atas anak kecil.
  2. Si pelaku adalah orang yang tidak gila atau memiliki akal yang sehat.
  3. Si pelaku bukanlah orang tua.
  4. Orang yang terbunuh memiliki derajat yang sama, misalnya seorang budak membunuh budak yang lain, maka budak tersebut boleh dikisas.
2. Hudud

Hudud adalah penjatuhan sanksi yang berat atas sesorang yang telah ditentukan oleh Al-Qur'an dan Hadis, seperti zina, mabuk dan keluar dari agama Islam atau murtad.

3. Ta’zir

Takzir adalah hukum yang selain hukum hudud, yang berfungsi mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.

C. Beberapa contoh Perbedaan Madzhab Dalam Jinayah

1.   Pencuri
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali bahwa kadar pencurian dihukum potong tangan adalah seperempat dinar atau tiga dirham. Akan tetapi, menurut mazhab Ḥanafi nisab atau kadar barang yang dicuri adalah senilai satu dinar atau sepuluh dirham, atau seharga keduanya. Seorang yang mencuri sesuatu yang remeh tidak dikenai hukuman potong tangan. Ulama Ḥanafiah berpendat
kadar nisab pencurian adalah satu dinar atau sepuluh dirham dan tidak boleh kurang dari itu.Dalam pandangan teori maṣlaḥah terhadap kadar pencurian dihukum potong tangan menurut mazhab Ḥanafi, bahwa kadar barang curian yang dilakukan oleh seseorang yaitu satu dinar yang setara dengan sepuluh dirham, atau sama dengan 2.959.250 Rupiah, karena kadar barang curian tersebut mempunyai kemaslahatan yang sangat baik jika diterapkan pada masyarakat saat ini. Jika kadar barang curian sebesar seperempat dinar atau yang setara dengan tiga dirham atau sama dengan 740.000 Rupiah, tidak layak untuk dijatuhkan hukuman potong tangan. Karena uang sejumlah 740.000 Rupiah adalah jumlah yang kecil pada saat ini di lingkungan masyarakat Indonesi
2.   Perzina
Perzinaan adalah hubungan badan yang diharamkan oleh Allah SWT dan Nabi SAW dalam Al-Qur’an dan Hadits serta disepakatin oleh para ulama dari berbagai mazhab akan keharamannya.Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa hukuman pengasingan adalah hukuman hudud yang diwajibkan kepada pelaku zina gair muhsan, baik dia laki-laki maupun perempuan  Imam  Ahmad bin  Hanbal  dan Ulama  Zahiriyah  berpendapat bahwa menyetubuhi mahram dijatuhi hukuman mati. Ulama fiqih berpendapat bahwa dalam pelaksanaan hukuman rajam, apabila yang dihukum itu laki-laki, maka hukuman dilaksanakan baginya dalam posisi berdiri. Apabila yang dirajam itu wanita, menurut ulama madzhab Hanafi, Madzhab Syafi’i, dan salah satu pendapat dikalangan Madzhab Hanbali, boleh digalikan lubang sampai batas dadanya, dengan tujuan agar auratnya tertutup. Akan tetapi, ulama Madzhab Syafii dan Madzhab Hanbali mengatakan bahwa kebolehan menggali lubang untuk wanita yang dirajam itu hanya berlaku apabila pembuktian perbuatan zina itu dilakukan melalui saksi. Apabila pembuktiannya melalui pengakuan pelaku, maka tidak boleh digalikan lubang karena lubang itu akan menghalanginya untuk lari, sebagai salah satu petunjuk bahwa pelaku yang sedang dirajam mencabut pengakuannyaUlama Madzhab Hanafi tidak membedakan pembuktian perbuatan zina tersebut karena setiap wanita yang dirajam boleh digalikan lubang untuk menutupi auratnya. Adapun ulama madzhab Maliki dan pendapat lain di kalangan madzhab Hanbali mengatakan, dalam pelaksanaan hukuman rajam bagi wanita yang terbukti melakukan tindak pidana perzinaan tidak perlu digalikan lubang.  Apabila wanita yang  akan  dirajam itu  dalam keadaan  hamil,  maka pelaksanaan hukumannya ditangguhkan sampai ia melahirkan. Larangan melaksanakan hukuman bagi wanita yang sedang hamil bertujuan agar janin yang dikandungnya tidak menderita atau gugur karena janin itu tidak ikut berdosa atas dosa yang dilakukan ibunya.
3.   Menuduh seseorang berbuat
Ulama Mazhab Maliki berpendapat wajib menjalankan hukuman (had) bagi orang yang menuduh seseorang melakukan perbuatan zina, baik ia berniat maupun tidak berniat. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat, kesaksian seorang pelaku qażaf tidak dapat diterima selamanya meskipun pelaku telah melakukan tobat. Pendapat beliau berdasarkan surat An-Nūr ayat 4-5, di dalam ayat tersebut terdapat istitsna’ (pengecualian), menurut Imam Abu Hanifah pengecualian tersebut kembali kepada kalimat yang menghukuminya fasik dan tidak kembali pada kalimat tidak diterimanya kesaksian. Alasan lain adalah hukuman bagi pelaku qażafitu terbuka dan disaksikan oleh masyarakat, sehingga telah jatuh  kepribadiannya di hadapan masyarakat, sedangkan kurangnya nilai kepribadian menghalangi diterimanya kesaksia
4.   Membunuh
Jumhur ulama fikih, termasuk ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, membagi tindak pidana pembunuhan tersebut kepada tiga macam sebagai berikut:
a. Pembunuhan sengaja
Menurut Ulama Mazahab Hanafi suatu pembunuhan dikatakan dilakukan dengan sengaja apabila alat yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang dapat melukai dan memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, Menurut Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, alat yang digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat yang biasanya dapat menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai seseorang dan sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk membunuh. Menurut Ulama Mazhab Maliki, suatu pembunuhan dikatakan sengaja apabila perbuatan dilakukan dengan rasa permusuhan dan mengakibatkan seseorang terbunuh, baik alatnya tajam, biasanya digunakan untuk membunuh atau tidak, melukai atau tidak. Bahkan apabila seseorang menendang orang lain dan mengenai jantungnya, lalu wafat, maka perbuatan ini dinamakan pembunuhan sengaja
b. Pembunuhan semi sengaja,
Pendapat ulama Mazhab Maliki dengan ulama fiqih lainnya adalah karena ulama Mazhab Maliki tidak mengakui adanya pembunuhan semi sengaja, karena menurut mereka pembunuhan yang terdapat dalam al-Qur’an dan diancam dengan hukuman hanya dua, yaitu pembunuhan sengaja dan pembunuhan tersalah. Akan tetapi, Ulama fiqih yang lain, di samping melihat kepada rasa permusuhan, kesengajaan, dan akibatnya, juga melihat kepada alat yang digunakan dan adanya pengakuan dari pelaku.
c. Pembunuhan tersalah,
yaitu suatu pembunuhan yang terjadi bukan dengan disengaja, seperti seseorang yang terjatuh dari tempat tidur dan menimpa orang yang tidur di lantai sehingga ia mati, atau seseorang melempar buah di atas pohon, ternyata batu lemparan itu meleset dan mengenai seseorang yang mengakibatkannya tewas. Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pembunuhan sengaja itu adalah suatu pembunuhan yang dikenakan hukuman qisas. Ulama Mazhab Syafi’i dan
Mazhab Hambali berpendirian bahwa untuk membuktikan suatu pembunuhan itu disengaja cukup dengan alat yang digunakan. Suatu pembunuhan sengaja, menurut jumhur ulama, selain Mazhab Maliki adalah bahwa pelaku memang bertujuan untuk menghilangkan nyawa korban.
5. Meminum Khammar
Adapun hukuman bagi peminum khmar menurut Madzhab Hanafi adalah dicambuk sebanyak 80 kali. menurut Imam Asy-Syafi‟i, beliau berpendapat bahwa hukuman had bagi orang meminum khamr dihukum dengan hukuman cambuk sebanyak empat puluh kali.
Itulah beberapa contoh perbedaan pendapat 4 madzhab dalam menentukan jinyah yang dilakukan oleh orang yang mukallaf.


Komentar

Postingan Populer