MENJELASKAN SEJARAH TASAWUF PADA MASA MODEREN


 

MENJELASKAN SEJARAH TASAWUF PADA MASA MODEREN

Masyarakat modern sangat menghargai dan mengedepankan wawasan pemikiran ilmiah yang rasional. Yakni pola budaya yang progresif dan dinamis, yang selalu berkembang dan berubah, tidak terikat pada tradisi masa lampau.

Profil masyarakat modern adalah masyarakat dengan budaya industri. Yaitu masyarakat yang mengembangkan cara berpikir ilmiah karena masyarakat modern menurut S. Takdir Alisyahbana yang dikutip dari tulisan Prof. Dr. Simuh dalam buku “Tasawuf dan Krisis” dikatakan lahir dari revolusi ilmu. Revolusi ilmu melahirkan revolusi teknologi. Revolusi teknologi melahirkan revolusi industri. Revolusi industri melahirkan revolusi perdagangan dan komunikasi. Maka profil masyarakat modern akan didominasi kebudayaan modern atau yang sering pula disebut kebudayaan industri. Inilah sunatullah yang mesti direnungkan dan dipertimbangkan matang-matang oleh generasi muda muslim[9]. Mengapa? Karena revolusi-revolusi tersebut di atas dapat mengancam eksistensi manusia itu sendiri.

Dalam realitas kehidupan dapat dilihat bagaimana kerusakan yang ditimbulkan oleh era modern. Moral manusia semakin tidak karuan, dekadensi moral tidak saja dilakukan orang awam, tetapi juga oleh seorang intelektual yang di masyarakat kita berkembang secara struktural. Hal ini menimbulkan pesimisme di kalangan umat karena fenomena ini nyaris tidak bisa diperbaiki[10].

Korupsi, kolusi, manipulasi, pergaulan seks bebas, perselingkuhan, peredaran narkoba, pornografi, pelacuran akademik, mafia agama dan rentetan perilaku amoral lainnya menjadi hal yang lumrah, karena secara universal semua orang melakukannya. Manusia seolah lupa  atau sengaja lupa dan berpura-pura bahwa hal itu tidak dipertanggungjawabkan. Kehidupan materialistik yang mengarah pada pola hidup hedonistik seolah telah menenggelamkan sebagian orang. Era modern terus berjalan seiring perkembangan pengetahuan manusia. Tanpa disadari manusia telah tergelincir jauh dari fitrahnya sebagai khalifah.[11]

Manusia modern memperlakukan  lingkungan sama dengan pelacur, mereka menikmati dan mengeksploitasi kepuasan darinya tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apapun.[12] Manusia menghamba pada egonya yang hanya memberinya kehampaan.

Disini tasawuf mengambil perannya sebagai pengontrol ego manusia. Tasawuf merupakan salah satu ajaran Islam yang menuntun, mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam semesta kehidupan yang mengutamakan kedekatan dan kemesraan makhluk kepada al-Khaliq.[13] Krisis moral, spiritualitas, ketauladanan, hati dan masalah psikologis lainnya hanya bisa diatasi dengan tasawuf. Tidak sedikit orang-orang yang tergelincir menemukan kembali jalannya semula sebagai makhluk Tuhan lewat tasawuf.

Manusia tidak dapat menafikan bahwa esensi dari Islam adalah moral, yakni moral manusia kepada Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan.

Seorang yang tidak bermoral pada Tuhan akan menjadi manusia yang rakus, tamak, gemar menindas, bertuhan pada nafsu dan membiarkan orang yang lemah dan berkhianat. Sebaliknya, seorang yang bermoral akan menjadi individu yang segala tindakannya positif, ia akan menjaga hubungannya dengan Tuhan, manusia dan alam. Moral merupakan bagian yang sangat terikat dengan tasawuf. Ibaratnya Tasawuf adalah induk dan moral adalah anaknya.

Tasawuf sangat berfungsi ketika krisis bathiniyah menjangkiti manusia. Tasawuf secara psikologis merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan. Pengalaman agama menimbulkan sugesti positif dalam diri manusia, tidak dapat kita pungkiri bukan? Setiap selesai shalat atau berdoa kita merasakan ketenangan dan kedamaian.

Selain itu, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan-perasaan mistik itu ialah ma’rifat, ittihat, hulul, mahabbah dan lain-lain. Dalam dunia sufi juga dijelaskan bagaimana menjalin hubungan dengan Tuhan. Tuhan itu Maha Indah, Maha Penyayang, Dia adalah Dzat Yang Maha Sempurna dan Kekal. Jadi tidak ada rasa takut bagi para hamba untuk mendekat kepada-Nya, justru itu memotivasi seorang hamba untuk mempersembahkan ibadah yang terbaik. [14]

E.     Tokoh-Tokoh Tasawuf Era Modern

1.      Buya Hamka[15]

Haji Abdul Malik Karim Abdullah, yang kemudian lebih dikenal sebagaiBuya Hamka, lahir pada 14 Muharram 1326 H atau 17 Februari 1908 M di NagariSungai Batang, Kampung Molek ditepi Danau Maninjau (Tim Redaksi PSH,1984: 51). Ayahnya, Haji Rasul yang dikenal sebagai Doktor Syaikh Haji AbdulKarim Amrullah, adalah orang yang berkecukupan, cerdas dan terpandang sebagaiulama besar sekaligus tokoh pembaharu di Minangkabau. Doktor Haji AbdulKarim adalah pemimpin pesantren”Sumatra Thawalib” di Padang Panjang.

Dalam usia 7 tahun (1915 M) dimasukkan di sekolah desa dan malamnya belajar mengaji al-Qur'an dengan ayahnya sendiri hingga khatam al-Qur'an. Pada tahun 1916-1923 M, ia telah belajar agama di sekolah “Diniyah School” dan Pesantren yang dipimpin ayahnya. Adapun guru-gurunya waktu itu adalah Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Muda Abdul Hamid dan Zainuddin Labbay. Wilayah Padang Panjang masa itu ramai dengan para penuntut ilmu agama Islam di bawah pimpinan ayahnya sendiri.

Sejak usia muda ia senang berkelana. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk belajar pada HOS Cokroaminoto, RM. Suryo Pranoto, Ki Bagus Hadikusumo dan H. Fakhrudin di Yogyakarta sekitar tahun 1924 M, Ia juga banyak belajar pada Abang iparnya, yaitu Buya AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjabat sebagai voorzitter (ketua) Muhammadiyah CabangPekalongan.

Pada usia 19 tahun, untuk pertama kalinya ia menunaikan ibadah haji. Selama hayatnya, tercatat tujuh kali ia menuju Baitullah. Di usianya yang ke 17 ia  tampil memberikan fatwa dan mengikuti kongres Muhammadiyah di Solo. Ia menikah dengan St. Rahmah dan dikaruniai 10 orang anak. Pada tahun 1972 sang istri wafat, ia pun menikah lagi dengan seorang wanita yang berasal dari Kota Cirebon yang bernama St. Hadijah. Siti Hadijahlah yang menemaninya sampai ia wafat.

Hamka adalah seorang ulama, sastrawan dan cendekiawan yang sangat terkenal di Indonesia maupun di negara-negara lain. Ia menelurkan 133 karya tulis di antaranya yang paling monumental adalah Tafsir Al Azhar yaitu Tafsir al Quran 30 juz. Ia juga dikenal sebagai novelis dan tokoh tasawuf. Kebiasaannya sehari-hari adalah mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an dalam 5-7 hari dan setiap hari di bulan Ramdhan. Ia menghembuskan nafas terakhirnya ketika usai membaca al Quran pada Jumat Sore, 24 Juli 1981.

Kiprah politik Hamka secara nyata dimulai tatkala Hamka berada diMedan, tepatnya setelah Jepang masuk ke daerah Sumatera Timur, serta ketikaJepang mengangkatnya menjadi penasehat. Kemudian Jepang mengangkatnyamenjadi Syuo Sangikai dan Tjuo Sangiin untuk kawasan Sumatera Timur danSumatera, yaitu menjadi penasehat dari Tyokan (Gubernur) Sumatera Timur,Letnan Jendral T. Nakashima (Damami, 2000: 720).

Kiprah politik inilah yang menyebabkan Hamka mendapat tragedi politikyang sangat menyakitkan hatinya. Dia dituduh sebagai anggota pergerakan“kolaborator” Jepang, yaitu seseorang yang mau bekerja sama atau membantumusuh. Ketika dia mundur dari kiprah politik zaman pendudukan Jepang diSumatera Timur tersebut, alangkah besar warna tragedi itu dengan dicap sebagai“penjilat” dan “lari malam” (pulang ke kampung halaman di Maninjau). Cap-capinilah yang menyebabkan hatinya terluka dalam (Damami, 2000: 73).

 

Sebagai fase akhir dari hidupnya, maka ia berkhidmat dalam dunia keulamaan, di samping secara terus menerus melakukan kegiatannya dalammengarang. Pada tanggal 27 Juli 1975, Hamka diangkat menjadi ketua MajelisUlama Indonesia (MUI) dan terpilih kembali dalam periode ke-2 pada akhir mei1980. Namun setahun kemudian, tepatnya 18 Mei 1981, Hamka mengundurkandiri berkaitan dengan masalah perbedaan pendapat dengan pihak DepartemenAgama Republik Indonesia dalam hal fatwa mengenai kehadiran umat Islamdalam perayaan natal (Damami, 2000: 78).

 

Konsp Tasawuf Buya Hamka

Membicarakan tasawuf, pada dasarnya tidak terlepas dari pembicaraanmengapa tasawuf itu muncul. Dalam hal ini, Hamka merumuskan bahwa hakikattasawuf adalah “tasawuf yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi danmen-shifa’-kan (membersihkan) bathin”. Dengan kata lain, dia mencoba meminjam kata al-Junaid, seorang sufi besar abad ke-3 H, bahwa “tasawuf adalahkeluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yangterpuji” (Damami, 2000: 169).

Hakikat tasawuf yang didefinisikan Hamka tersebut memberikan responilmiah dalam dirinya untuk mengkaji ulang realitas kesufian dilihat dari kontekske-Indonesiaan. Pengalaman tasawuf Hamka mengantarkannya untuk mengkajikembali mengenai kejumudan (stagnan) yang signifikan dalam fungsi tasawufditinjau dari konteks “nasib umat Islam Indonesia” yang serba “miskin”; miskinekonomi, miskin ilmu pengetahuan, miskin kebudayaan, miskin politik dan yanglebih tragis lagi yaitu miskin mentalitas. Perspektif inilah nampaknya yangsenantiasa menjadi semacam cerminan bagi Hamka untuk menilai ulang tentang“fungsi tasawuf”.

Menurut pengamatan Hamka, umat Islam Indonesia juga umat Islamdunia, sudah cukup lama tidak pernah mendapat cahaya falsafat. Akibatnya, cara berfikir umat Islam menjadi gelap, dan tentu saja mundur, bahkan falsafat itu sendiri dibenci oleh umat Islam (Hamka, 1986: 15). Pada masyarakat bawah masih berkubang dalam kubangan praktek-praktek ketarekatan yang memabukkan dan melenakan. Apabila orang Indonesia menyebut istilah “tasawuf”, maka mereka lalu teringat kepada apa yang disebut “tarekat”. “Tarekat” merupakan kegiatan ketasawufan yang memiliki peraturan-peraturan khusus sendiri-sendiri yang sudah baku dan tidak dapat diubah-ubah. Sementara itu, apa yang disebut “tasawuf” sendiri pada bentuk aslinya tidak mempunyai aturan-aturan tertentu sebagaimana tarekat.

Buya Hamka berusahamenghadirkan tasawuf dalam konteks zaman modern dengan tetap mempertahankan hasil positif dari tasawuf klasik untuk mengisi kekosongan yang terdapat di dalamya. Dengan berpegang pada pepatah “Khudz mâ shafâ da’ mâ kadara” (ambil yang baik dan buang yang buruk) atau dalam istilah Ushul Fiqh dirumuskan dengan “al-Muhâfadzah ‘alal qadîmish shâlih wal akhdzu bil jadîdil ushlah” (mengadaptasikan hasil capaian generasi lama yang baik dan membangun capaian baru yang lebih baik) (Burhani, 2001: 172).

Dalam pemikiran tasawuf Hamka ada beberapa hal yang ditawarkan: pertama, kebahagiaan; kedua, kesehatan jiwa dan badan; ketiga, qana’ah; keempat, tawakkal.

a.      Kebahagiaan

                        Dalam konsep kebahagiaan Hamka membaginya ke dalam tiga bagian:

ü  Kebahagiaan Agama

Agama memberi jalan pada akal dan membimbingnya. Agama membantu akal untuk melakukan pertimbangan dan pembanding ketika manusia hendak melakukan atau memutuskan sesuatu.

ü  Kebahagiaan Budi Pekerti

Menyelaraskan otak yang cerdas dan sehat dengan perangai yang baik akan menampakkan apa yang mesti dibuang dan apa yang mesti dipakai oleh manusia.

ü  Kebahagiaan Harta Benda

Menurut Hamka orang yang kaya adalah orang yang sedikit keperluannya. Seseorang yang memiliki kekayaan tidak lain hanya untuk mengabdikan diri sepenuhnya dijalan yang diridhai Allah swt.

b.      Kesehatan Jiwa dan Badan

                             Hamka berpendapat bahwa kesehatan jiwa dan badan harus seimbang. Kondisi jiwa yang sehat akan terpancar dari mata dan badan yang sehat membukakan pikiran dan mencerdaskan akal. Cara memelihara jiwa dan badan adalah dengan, (i) bergaul dengan orang-orang yang budiman. (ii) membiasakan pekerjaan berfikir. (iii) menahan amarah dan syahwat. (iv) bekerja dengan teratur dan menimbang sebelum mengerjakan. (v) mengoreksi aib diri sendiri.

c.       Qana’ah

                             Qana’ah ialah menerima sesuatu dengan perasaan cukup. Menurut Hamka Qana’ah mengandung 5 perkara:

*menerima dengan rela apa yang ada.

*memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha.

*menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan

*bertawakal kepada Tuhan.

*Tidak  teretarik oleh tipu daya dunia.

Hamka menuturkan bahwa orang yang mempunyai sifat qana’ah telahmemagar hartanya sekadar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalankan

pikirannya kepada yang lain (Hamka, 1990: 232).

d.      Tawakal

Tawakal yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usahakepada Tuhan semesta alam. Hamka menyebutkab bahwa tidaklah keluar darigaris tawakal, jika seseorang berusaha menghindarkan diri dari kemelaratan, baikyang menimpa diri, harta benda, anak turunan (Hamka, 1990: 245).

Itulah beberapa pokok pikiran penting dari konsep Tasawuf Modern yangditawarkan Hamka.

 

2.      Badiuzzaman Said Nursi

Said Nursi lahir pada tahun 1293 H./ 1876 M. di sebuah desa bernama Nursi, di wilayah Bitlis yang terletak di sebelah timur Anatolia. Ayahnya bernama Mirza, seorang sufi yang sangat wara’. Ibunya bernama Nuriah, ia tidak menyusui anaknya kecuali dalam  keadaan suci dan berwudhu. Ia dari tujuh bersaudara ia dikenal sangat jenius dan rajin menghadiri pendidikan yang diselenggarakan orang-orang dewasa.Ketika berusia 16 tahun, iadiundang untuk menghadiri suatu majelis yang rutin diadakan oleh ulama kala itu. Ia mengalahkan beberapa ulama dengan fatwanya. Selepas peristiwa ini, ia pun digelariBadiuzzaman (Kekaguman Zaman).[16]

Pengalaman pendidikan yang telah beliau lalui telah membukakan fikirannya untuk memikirkan cara untuk menghasilkan sistem pendidikan yang berpadu. Ketika itu, Turki sedang memasuki satu zaman baru yang membawa angin perubahan. Satu zaman di mana sains dan logika memainkan peranan penting. Beliau berpendapat ilmu agama perlu diajarkan di sekolah-sekolah modern dan sekular, sebaliknya ilmu sains modern pula perlu diajarkan di sekolah-sekolah agama. Katanya, “Dengan cara ini, para pelajar di sekolah moden dilindungi dari kekufuran dan para pelajar di sekolah agama akan dilindungi dari sikap skeptis”.[17]

Dalam usaha merealisasikan cita-citanya tersebut, ia mendatangi Sultan Abdul Hamid sebanyak dua kali (yaitu pada 1896 dan 1907) di Istanbul untuk membahas idenya. Namun ia menyampaikan maksudnya tersebut dengan nada kasar sehingga dijebloskan ke Rumah Sakit Jiwa di daerah setempat. Akan tetapi dokter yang menanganinya menyatakan, “Jika Badiuzzaman gila, maka tidak akan ada seorang manusia siuman pun di dalam dunia ini”. Dengan ini, beliau pun dibebaskan.Sering kali Badiuzzaman (sapaan beliau) menjadi sasaran tuduhan (fitnah) yang bertentangan dengan niat dan cita-citanya.[18]

Pada Perang Dunia Pertama, Badiuzzaman menjadi pemimpin pasukan sukarelawan di medan perang Kaukasia dan Anatolia Timur. Keperwiraan yang telah ditunjukannya di medan pertempuran mendapat pujian dari para panglima Tentera Turki Utsmaniah, termasuklah Anwar Pansya, Menteri Perang dan Ketua Turus Tentera ketika itu. Pasukannya diberi gelar “Pasukan Topi Bulu”. Pasukan ini telah memukul mundur tentara Russia dan pengganas Armenia. Di medan perang inilah beliau telah menulis tafsirnya yang bertajuk “Isyaaratul I'jaz” dalam bahasa Arab. Karyanya ini ditulis ketika beliau menunggang kuda di garda depandan di dalam kubu-kubu pertahanan. Tafsir ini kemudian  mendapat penghargaan dari para ulama terkenal.[19]

Pada masa itu, kezaliman menyelubungi Turki. Azan diharamkan, beratus-ratus masjid telah digunakan untuk tujuan bukan keagamaan. perubahan telah dijalankan untuk memutuskan Turki dari masa lalunya yang terkenal dengan nilai-nilai akhlaknya yang mulia. Siapa yang berbicara tentang agama memerlukan keberanian untuk melakukannya. Tulisan-tulisan mengenai agama dihilangkan.[20]

Dalam suasana beginilah Badiuzzaman Said Nursi memasuki lembaran kedua hidupnya. Ia diberi gelar "Said Jadid” (Said Baru). Ia mencurahkan hidupnya untuk menulis dan mensyiarkan iman dan Islam. Kebenaran iman ialah kebenaran dunia yang terpenting. Membangkitkan semula iman dan Islam menjadi tugas utamanya. Ia berkata, “Saya akan buktikan kepada dunia bahawa Al-Quran ialah matahari rohani yang tidak akan luntur dan tidak akan padam”. Gelar Said Jadid diberkan kepadanya karena ia seumpama matahari, menyinari dunia sains dan budaya. Semenjak itulah, beliau telah menyinari berjuta-juta manusia dengan cahaya iman.[21]

Karya tulisnya sebanyak 600.000 naskah yang ditulis tangan.Said Nursi telah melahirkan sejumlah karya penting, salah satunya adalah “Risale-i Nur” atau Risalah Nur, sebuah tafsir Alquran setebal lebih dari enam ribu halaman.[22]

Konsep Tasawuf Badiuzzaman Said Nursi

Pemikiran Said Nursi tentang tasawuf berdasar pada pemahamannya terhadap Alquran dan pengalaman, baik berupa pengamatan terhadap suatu realitas, maupun berupa perjalanan spritualnya sendiri. Sufisme Said Nursi menempatkan iman sebagai landasan utama dan pertama yang harus diperbaiki dalam menjalani kehidupan di dunia ini, apalagi dalam mengadapi tantangan atheisme dan sekulerisme tersebut. Said Nursi juga banyak melakukan perenungan dan berkhalwat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk itu, ia memohon petunjuk dan hidayah dari Allah Swt, melakukan pencarian iman yang haqiqi,yang menurutnya sangat penting dan menjadi faktor penentu keselamatan umat manusia.Bahkan menurutnya, tujuan pokok dari tasawuf dan tarekat itu adalah mengetahui hakekat keimanan.[23]

Iman inilah yang menjadi titik sentral dalam pandangan tasawuf Said Nursi. Berangkat dari iman, maka orang bisa mengenal Allah Swt, yang kemudian menuju kepada mencintai Allah dan pada akhirnya akan merasakan sebuah kelesatan dan kenikmatan yang tidak ada taranya ketika manusia sampai kepada cinta kepada Allah “mahabbatullah”. Inilah yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul “Anwar al- hakikat: Mabahis fi Tasawuf wa al-Suluk.

Inilah konsep tasawuf dari Said Nursi yang terdiri dari empat fase. Faseini berangkat dari iman, kemudian dengan iman, manusia dapat mengenal Allah Swt/makrifatullah, dan dari makrifatullah, manusia mendapatkan mahabatullah dan dari mahabbatullah manusia akan mencapai sebuah kelesatan dan kenikmatan spritual yang tidak ada bandingnya, yaitu allazzat al-ruhiyah.[24]

 

a.      Hakekat Iman

Menurut Nursi, persoalan iman merupakan hal yang sangat penting

dalam kehidupan dunia ini. Bahkan lebih penting dari tasawuf itu sendiri.

Manusia tidak akan pernah masuk surga tanpa iman, sementara banyak orang

yang masuk surga bukan karena tasawuf.

Konsep keimanan bagi Said Nursi berangkat dan sejalan dengan konsepyang dipahami oleh Imam al-Rabbaniy, pemimpin dan tokoh tarekat Naqsyabandiyah. Menurut al-Rabbaniy dalam karangannya: “Saya lebihmengutamakan untuk menjelaskan hakekat keimanan dibandingkan denganmasalah lainnya. Dengan ribuan masalah rasa, dan kemuliaan. Ia juga berkata:

Sesungguhnya batas akhir dari jalan/tarekat tasawuf secara menyeluruhadalah menjelaskan hakekat keimanan. “

 

 

b.      Makrifatullah(Mengenal Allah)

Dari pengkajian tentang isi Al-Qur’an, maka Said Nursi mendapatkansebuah kata kunci untuk mendekati dan mengenal Allah Swt, yaitu denganjalan kerendahan”. Untuk menjadikan manusia bisa merendahkan diri dihadapan Allah Swt, maka ditempuhlah beberapa cara/metode untuk sampai kepada-Nya dan menuju tingkat Kesucian. Metode ini, menurutnya sangatlah simpel dan ringkas, tetapi lebih umum dan lebih mendalam. Metode tersebut dinamakan dengan al-khututwat al- Arba’ah (empat langkah), yaitu dengan al-a’jz (menampakkan kelemahan), al- faqr (ketiadaan/kemiskinan), alsyaqafah(rasa kasih sayang), dan al-Tafakkur (bertafakkur).

 

c.       Mahabbatullah (Cinta Allah)

 

Konsep tasawuf Said Nursi adalah Mahabbatullah yang muncul dari makrifatullah. Menurutnya, orang-orang yang mengenal Allah dengan yang nantinya akan mendapatkan Mahabbatullah, maka mereka tidak menghiraukan lagi apapun yang terjadi. Mereka telah membentengi dirinya dari berbagai macam godaan dan gangguan, termasuk tipu daya syaitan. Perasaan cintanya kepada Allah tidak goyah lagi. Akan tetapi, tanpa mahabbatullah, maka manusia akan selalu berada dalam tipu daya syaithan.

Menurut Said Nursi, untuk mendapatkan cinta Allah, maka seorang pencinta (baca :manusia) harus mencintai dengan rendah diri tanpa mengharapkan apa-apa. Dalam hal ini, Said Nursi menggambarkan perasaan cinta yang tulus kepada Allah, sebagaimana perasaan cinta seorang ayah atau ibu kepada anak-anaknya. Untuk mendapatkan kedua sifat Allah ini, al-Rahman dan al-Rahim, maka sarana yang paling penting yang harus dilakukan adalah jalan kefakiran/kemiskinan yang dibarengi dengan rasa syukur, kelemahanyang dibarengi dengan kasih sayang. Atau dengan kata lain melaksanakan kepatuhan dan memiliki rasa tidak memiliki di hadapanNya.[25]

d.      Al-Ladzdzah al-Ruhiyah (Kenikmatan Rohani)

 

Fase keempat dalam konsep tasawuf Said Nursi adalah al-lassat alruuhiyah.Yaitu fase terakhir dari ketiga fase sebelumnya, yaitu fase yang akan diperoleh oleh seorang hamba setelah ia mempunyai hakekat iman, yang menghasilkan makrifatullah dan menghasilkan mahabbatullah.

Dengan demikian, jika setiap orang yang mengenal Allah denganpengenalan yang benar, dan hatinya telah dipenuhi dengan cahaya cintanya, maka ia akan menjadi pemilik kebahagiaan yang tidak ada batasnya, dan nikmat yang tidak ada habisnya, kesenangan yang tidak ada hentinya, dan iaakan mendapatkannya, baik sekarang maupun akan datang. Sementara itu, orang yang tidak mengenal Allah dengan baik, maka ia tidak akan mendapatkan cinta Allah. Ia akan mengalami kesulitan fisik dan psikis selamanya. Ia mengalami berbagai penderitaan dan rasa putus asa yang tak terbatas.Ia akan memperoleh kasih sayangNya yang luas, dan bersandar kepada kemahakuasaan-Nya yang mutlak. Ia akan mendapatkan kehidupan dunia yang menyenangkan dan usaha yang menguntungkan.[26]

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Krisis spiritual, kebimbangan, cemas, tindakan syirik sosial, kedzaliman terstruktural dan berbagai tindakan amoral lainnya merupakan dampak dari lahirnya era modern yang ditandai oleh revolusi industri di Barat yang berpengaruh langsung bagi seluruh manusia di dunia. Munculnya era ini, menimbulkan kesenjangan di masyarakat yang nyaris tidak dapat diperbaiki. Tokoh-tokoh seperti Buya Hamka dan Said Nursi adalah segelintir dari perintis revolusi mental bagi umat. Mereka adalah para pelopor yang memurnikan ajaran tasawuf untuk menjadi jalan pulang bagi manusia dalam mengobati virus yang menjangkiti mereka. Sampai kapanpun, tasawuf (baca:akhlak dan agama) menjadi pengontrol perbuatan manusia.

 

B.     Saran dan Kritik

Telah banyak literature yang mambahas tentang Tasawuf di berbagai era. Salah satunya adalah era modern. Secara teoritis sudah ada di genggaman kita ummat manusia, tinggal mau atau tidak kita mengaplikasikan teori-teori tersebut. Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa dunia ini adalah permainan. Marilah kita tidak main-main dalam menjalani hidup ini, tapi kita harus jadi pemenang di kehidupan nanti dari panggung permainan ini.

Penulis menyadari, penulis hanyalah hamba-Nya yang dha’if. Dari tulisan ini tentu di temui banyak kekurangan. Oleh karena itu, mohon kritik dan saran dari para pembaca sekalian.Jazakumullahu Khairan Katsiran. Wallahu Musta’an.

. Tasawuf dan Urgensinya di Era Global Telah disinggung bahwa era global ditandai dengan kepesatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Sebagai contoh dengan teknologi komunikasi yang canggih, arus informasi akan mengalir dengan derasnya melintasi batas negara tanpa dapat dihambat oleh kekuatan fisik. Perubahan demi perubahan berjalan sangat cepat, bahkan sulit terikuti. Sejarah menuturkan bahwa IPTEK di Barat lahir dan dibersarkan oleh pertarungan sengit antara saintis melawan gereja yang bengis terhadap dirinya. Pertarungan ini dilanjutkan dengan kekejaman agamawan (baca: gerejawan) terhadap saintis, yang dikenal dengan istilah inquisisi. Contoh yang terbaik dalam hal ini dapat dilihat pada praktek pemimpin Ordo Benedictine yang diangkat ke layar perak melalui film The Name of the Rose. Kemajuan IPTEK dalam era global ini telah sampai kepada apa yang disebut dengan the post industrial society, yaitu masyarakat secara material telah sampai pada taraf makmur. Peralatan-peralatan hidup telah terkendali secara mekanik dan otomatis.15 Sepertinya hidup bertambah mudah, enak dan nyaman. Akan tetapi ternyata kenyamanan material tidak selamanya membawa kepada kebahagiaan rohani. Sebenarnya aspek kerohanian inilah sebagaikemanusiaan. Bila hal ini terabaikan akan membawa kekurangan yang paling serius yang menyangkut sisi manusia yang terpenting dan yang paling dalam. Tasawuf merupakan unsur yang penting dalam Islam. Jika unsur ini dihilangkan, berarti agama bagaikan badan tanpa nyawa. Karenanya hal ini perlu disosialisasikan, Islam bukan hanya sisi legalistik-formalistik saja, tetapi ia juga memiliki dimensi esoterik. Telah dituturkan sebelumnya bahwa kaum sufi bukanlah orientasi keakhiratan semata. Mereka juga tidak mengabaikan tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Kehidupan dunia, sebagai sarana bukan tujuan, mereka gunakan seperlunya. Menyimak dari kemajuan-kemajuan Barat pada era global ini yang kering dari aspek kerohanian, akan menimbulkan malapetaka dalam berbagai bidang. Untuk menangkal hal dimaksud perlu dihidupkan pendidikan spiritual. Bagi kaum sufi ajaran spiritual ini merupakan cara utama untuk mengendalikan hawa nafsu. Bila ajaran tasawuf tentang kesucian jiwa dan akhlak mulianya sudah terlaksana dengan baik, maka manusia akan menjadi hamba Allah yang membawa kedamaian di alam semesta ini. Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas dapat ditegaskan bahwa pada era global ini perlu dihidupkan kembali ajaran-ajaran tasawuf dengan bentuk baru atau neo sufisme yang sesuai dengan kondisi dan situasi. Penekanan tasawuf tidak lagi untuk mencapai al-ittihâd dengan Allah, akan tetapi lebih menekankan kepada transedental Allah, dan tasawuf dipandang sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan akhlak dan kebersihan jiwa. Akhlak yang hendak diwujudkan ialah “tiruan” dari akhlak Allah. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW. : Takhallaqû bi akhlâq Allah (Hiasi dirimu dengan akhlak Allah). Kemudian sifat eskapisme dan anti keduniaan segera diganti dengan mengembangkan sikap positif terhadap dunia. Dengan kata lain, kesalehan individual tidak terlepas dari kesalehan sosial dan kesalehan enviromental. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa ada waktu-waktu tertentu yang digunakan khusus untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf ini, seperti apa yang disinyalkan Ibn Bajjah dengan filsafat manusia menyendirinya yang ia tuangkan dalam buku utamanya Kitâb Tadbîr al-Mutawahid. Perlu diinformasikan bahwa pada era global kehadiran tasawuf mutlak diperlukan. Gerakan neo sufisme pada masa pasca modern dalam rangka merespon kepesatan ilmu modern yang cenderung membawa krisis kemanusiaan dapat dijadikan indikasi ke arah ini. Dengan ajaran tasawuf manusia dapat terbebas dari penyakit manusia modern, seperti kemunafikan, kehampaan rohani dan lain-lainnya, sehingga terciptalah manusia yang utuh. Rasanya sulit dipercaya, sebuah peradaban yangmenegasikan Allah akan dapat melahirkan kedamaian dan ketentraman sebagai dambaan setiap manusia. Kedamaian ini bisa tercipta dari pribadi yang sehat, yang memiliki akhlak yang mulia. Memang faktualnya dunia ini sangat membutuhkan tasawuf, karena dalam tasawuf tidak hanya terlahir kedamaian, tetapi juga masa depan manusia dan alam semesta. Tentu saja tasawuf yang kita inginkan ialah tasawuf seperti yang diamalkan umat Islam era klasik, yang dengannya mereka mampu menandingi kemajuan umat-umat lainnya

Komentar

Postingan Populer