hiwalah pengalihan hutang

Hiwalah pengalihan hutang

 


 

Islam mengatur semua segala hal yang dalam hidup seorang insan dan hal itu mencakup segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali, baik itu berkaitan dengan hubungan manusia kebutuhan dengan Alam. maupun kebutuhan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Manusia selalu membutuhkan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dalam hal itu manusia yang dikenal makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri. Oleh karena manusia sangat bergantung kepada manusia yang lain, tidak terkecuali dalam hal muamalah seperti transaksi jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, bahkan hutang mengutang, baik kegunaan untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan umum. Dalam usaha untuk mendapatkan keuntungan dan mempercepat perputaran modal, perusahaan atau pelaku bisnis memperlancaproduksi suatu barang yang tujuan akhirnya dapat meningkat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ketika pelaku bisnis atau perusahaan tidak mampu membayar secara keseluruhan dari harga transaksi yang telah disepakati, maka tidak jarang alternatif lain yang digunakan adalah hutang. Dalam utang piutang ada yang dikenal dengan istilah hiwalah.

Kehidupan manusia di dunia tidak lepas dalam berinteraksi dengan manusia lainnya guna mempermudah kehidupan bermuamalah sebagaimana tujuan utama syariah. Islam sebagai pandangan hidup yang selaras dan terpadu, di rancang agar dapat menghantarkan pada falah manusia melalui terciptanya keharmonisan di antara hajat manusia yaitu terkait moral, materil maupun pelaksanaan keadilan di masyarakat sebagai kegiatan tolong menolong. Pembangunaekonomi berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kajian mengenai ekonomi dalam Al- Quran, hadist, maupun sejarah Islam. Di antara produk pemikiran ekonomi yang diterapkan pada dunia bank Syariah yaitu Al-Hiwalah atau yang lebih dikenal dalam masyarakat yaitu konsep pengalihan utang (Siswanto, 2017). Prinsip hiwalah yaitu dari pihak bank membuat jasa tanggungan pemindahan piutang yang dilakukan oleh nasabah kepada pihak lain. Sebab hal ini, bank syariah memiliki terobosan dalam kegiatannya agar terhindar dari riba, gharar maupun maisyir dalam menciptakan produknya, salah satunya al hiwalah sebagai produk jasa alternatif dalam keuangan syariah (T. Abrar, 2017).

Sebagai umat manusia di muka bumi tidak akan terhidar dari namanya kebutuhan yang beraneka macam, Di antara manusia tersebut ada yang mampu menghidupi kebutuhannya dan


ada pula yang tidak mencukupi. Bagi yang belum terpenuhi keperluannya, salah satu caranya melalui kegiatan berhutang. Seorang yang berhutang harus membayar utangnya sesuai perjanjian yang disepakati bersama. Namun masalah yang saat ini banyak sekali orang yang berhutang menunda-nunda pembayarannya sehingga merugikan orang lain, karena dengaadanya penundaan tersebut apalagi tanpa alasan akan menghambat kegiatan perekonomian yang serius. Sehingga akan ada kedzaliman di dalamnya, maka dari itu melunasi utang adalah suatu kewajiban. Sebahaini akan menjadi dasar sebuah kepercayaan. Islamemiliki solusi dalam hal ini yaitu dengan dasar keadilan dan menghilangkan kedzaliman dan saling menjalimi di antara penghutang dan pemberi utang, solusi dari masalah tersebut yaitu dengan proses hiwalah (Nizaruddin, 2013).

Hiwalah dapat berperan sebagai akad yang bisa digunakaantar individu maupun kelompok untuk menyelesaikan masalah utang piutang. Dalam banyak dalil baik dalam Al- Quran maupun hadis Islam sangat memperhatikan kondisi ekonomi umatnya, bahkan para ulama pun menaruh perhatian yang lebih terhadap perekonomian umat. Termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan hukum mengenai hiwalah. Dalam menetapkan sebuah ketentuan hukum yang berasal dari Al-Quran maupun hadis, para ulama menggunakan kaidah-kaidah sehingga nantinya mendapatkan suatu produk hukum yang disebut dengan fiqih. Lebih lanjut kaidah yang digunakan tersebut merupakan kaidah yang berasal dari Al-Quran dan hadis yang disebut dengan kaidah fiqih. Makalah ini akan membahas beberapa kaidah fiqih, terkhusus kaidah furu’ fi al-Hiwalah.

Hiwalah sendiri merupakan akad tolong menolong atau tabarru, hiwalah efektif diterapkan pada perbankan Syariah sebab ada kaidah yang terkandung di dalamnya yaitu yang memberikan manfaat antara nasabah dan bank. Kegiatan hiwalah ini yakni menanggung utang dari pihak pertama kepada pihak kedua sementara bank sebagai pihak ketiga. Kegiatan Hiwalah sendiri ialah kegiatan dalam menanggung tanggungan seorang muhil atau dalam perbankan disebut debitur kepada orang yang berkewajibadalam membayar utang yang memiliki utang tersebut. Pada perbankan Syariah teknisnya didasarkan pada prinsip-prinsip syariah   dalam saling tolong menolong untuk meringankan beban pihak yang sedang memiliki kesulitan dalam membayar utangnya, sehingga tidak mengganggu perputaran keuangan dalam kegiatan perekonomian di masyarakat. Dalam pengalihadana haini harus terhindar dari ribawi.


B. Rumusan Masalah

 

1. Apa pengertian dari Hiwalah?

 

2. Apa hadits dan landasan yang terkait Hiwalah?

 

3. Bagaimana teknis pelaksanaan Hiwalah?

 

 

 

 

 

C. Tujuan Penulisan

 

1. Untuk mengetahui pengertian dari Hiwalah.

 

2. Untuk mengetahui hadits dan landasan yang terkait Hiwalah.

 

3. Untuk  mengetahui teknis pelaksanaan Hiwalah.


 

 

A. Definisi Hiwalah


PEMBAHASAN


 

Diantara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah (pengalihan utang)atau dalam istilah syariah dinamakadengaal-hiwalah. Pengalihan utang ini telah dibenarkan oleh syariat dan telah dipraktikan sejak zaman nabi Muhammad SAW sampai sekarang.1  Menurut bahasa, kata Al-Hiwalah huruf ha dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah, berasal dari kata At-Tahawwul” yang berarti Al-Intiqal” (Pemindahan/Pengalihan). Orang arab biasa mengatakan “Hala ‘anil ahdi” yaitu terlepas dari tanggungjawab. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah menurut bahasa adalah  Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lan

Al-hiwalah secara verbal memiliki arti al-intiqal atau pindah, yang di lafazkan dengan Hala 'ani 'ahdi, [berpindah, berpaling, berbalik dari janji], sementara dalam istilah, definisi al- hiwalah menurut para ulama Hanafiyah ialah  memindah [al-Naqlu] penagihan dari yang memiliki tanggungan pihak yang memiliki utang [al-Madin] untuk tanggungan pihak al- Multazim atau yang wajib membayar utang, haini disebut al- Muhal alaihi.2 Haini memiliki perbedaan dengaal-kafalah yang memiliki arti ialah Dham-mu atau menggabungkan tanggungan di dalam tuntutan atau penagihan, bukan memindah [al-Naqlu]. Sebab itu, melalui al-hiwalah menurut kesepakatan ulama, dalam hal ini pihak berhutang atau al- muhil tidak di tagih lagi (Wulandari, 2019). Lalu, timbul sebuah pertanyaan apakah utang yang ada pun berpindah pula? Dalam persoalan ini, para imamadzhab Hanafi memiliki pendapat berbedaakan tetapi yang shahih ialah bahwasanya utang yang dimiliki pun ikut berpindah.

Maka dari itu, pengarang kitab, “al-Inayah,” mendefiniskan al-hiwalah yaitu menurut istilah ulama fiqh ialah memindahkan (alTahwil) utang dari tanggungan pihak ashil (dalam hal ini  iala al-Muhil)  k tanggunga pihak  al-Muhal„  alaihi  dalam  bentuk  al-Tawatstsuq

(penguatan, penjaminan).Menurut Maliki, Syafii, dan Hanbali, "al-hiwalah" ialah pengalihan

 atau pemindahan hak dalam menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak yang lain (Syahpawi, 2012)

a. Menurut Hanafiyah,

 

yang dimaksud "al-hiwalah" adalah, Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada tanggung jawab muhal „alaih (orang lain yang punya tanggung jawab membayar utang pula).” 3

b. Menurut Maliki, Syafii, dan Hanbali,

 

"al-hiwalah" adalah, Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak yang lain.” Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungaatau hak dari satu orang kepada orang lain.

c. Menurut Zainul Arifin

 

hiwalah adalah akad pemindahan hutang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dengan demikian di dalamnya terdapat tiga pihak, yaiyu pihak yang berhutang (muhil), pihak yang memberi hutang (muhal) dan pihak yang menerima pemindahan (Muhal alaih).4Dalam konsep hukum prdata hiwalah adalah serupa dengan pengambil alihan hutang, lembaga pelepasan hutang atau penjualan utang atau lembaga penggantian kreditor atau penggantian debitor. Dalam hukum perdata dikenal lembaga yang disebut subrogasi dan novasi yaitu lembaga hukum yang memungkinkan tejadinya pergantian debitor atau kreditor.

 


B. Dasar Hukum Hiwalah

 

Hiwalah ini disyariatkan oleh agama islam dan diperbolehkan menerapkanya dalam kehidupan seharihari, karena terdapat unsur maslahat bagi diri pribadi maupun orang lain daadanya kemudahan dalam bermuamalah.5  Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah muamalah merekamemaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka. Dasar hukum hiwalah terdapat dalam AL-Qur’an, Hadits, ijma’

a. Al-Quran

 

1) Surat Al-baqarah ayat 280

 

Artinya: “ Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui(Q.S Al-Baqarah: 280)

 

 

Uraian dari ayat tersebut maksudnyaapabila orang yang kamu utangi itu mengalami kesulitan mengenai masalah ekonomi, sehingga tidak melunasi hutangnya, maka tundalah tagihanya sampai kondisi keuanganya membaik dan mampu melunasi utangnya. Apabila kalian bersedekah kepadanya dengan tidak menagih utangnya atau membebaskan sebagian utangnya, itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui keutamaan dari tindakan kalian itu di sisi AllaSwt.

 

 

2) Surat Al-baqarah ayat 282

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman!. Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatkanya. Dahendaklah seorang penulis di antara kamu mencatatkanya dengabenar. (Q.S Al-Baqarah: 282)


 

Dalam ayatersebut menjelaskan bahwa dalam utang-piutang atau transaksi yang tidak kontan sebaiknya dicatatkaatau dituliskan sehingga apabila terjadi suatu perselisihan dapat lebih mudah untuk dibuktikan. Dalam kegiatan ini juga diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan utang-piutang secara langsung dari awal.

 

 

b. Hadist

 

Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah berkata “ Menunda-nunda oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu diikutkan (dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah.(H.R Bukhari Muslim).6

Penjelasan dari hadis tersebut yaitu, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang memindahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima pemindahan tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dipindahi hutang. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkaakad hiwalah dengan catatan, hiwalah dilakukaatas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hiwalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan benda

c. Ijma

 

Para ulama sepakat membolehkan hiwalah, karena hal ini sejalan dengan kaidah dasar di bidang muamalah, bahwa semua bentuk muamalah diperbolehkan dalam islam kecuali ada dalil yang tegas melarangnya.7 Hiwalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/benda, karena hiwalah adalah perpindahan hutang oleh sebab itu harus pada uang atau krwajiban finansial

d. Fatwa

 

Ulama juga telah berijma mengenai diperbolehkannya hiwalah. Selain dasar hukum daral-sunnah dan ijma juga ada legitimasi dalam KHES pasal 319-328.

 

 

C. Rukun dan Syarat
 1) Rukun Hiwalah

 

 

1. Menurut mazhab Hanafi rukun dalam hiwalah boleh hanya ijab dan qabul, yakni ijab ialah pernyataan melaksanakan dalam kegiatan hiwalah dari pihak kesatu, dan qabul dari pihak kedua dua maupun pihak ke tiga sebagapernyataan menerima kegiatan hiwalah.8

2. Menurut tiga mazhab lainnya seperti Maliki, Syafii dan Hambali mendefinisikan rukun hiwalah menjadi enam kategori yakni:

a Pihak  kesatu,  muhi ilalah  individu  yang  memiliki  utang  da sekaligus  pihak  yang berpiutang,

b. Kedua, muhal atau muhtal ialah yang memberikan utang kepada seseorang yang memiliki utang.

c. Ketiga muhal alaih

 

Ialah seseorang yang memiliki utang kepada pihak kedua dan wajib membayar hutang kepada yang memerikan utang atau pihak ketiga.

d. Memiliki utang dari pihak kesatu kepada pihak kedua,

 

Muhal bih ialah utang pihak kesatu atau muhil kepada pihak kedua atamuhtal.

 

e. Adanya utang dari muhal alaih terhadap muhal, dan utang muhal ‘alaih kepada muhil.

 

f. Ada pernyataan hiwalah .

 

Pernyatannya jika di umpamkan Ana (muhil) berhutang dengan Bani (muhal) dan Ana berpiutang dengan Ceni (muhal alaih), jadi Ana seseorang yang berhutang dan berpiutang , Bani hanya berpiutang dan Ceni hanya berhutang. Selanjutnya Ana memiliki persetujuan kepada Bani menyuruh Ceni menanggung utangnya terhadap Bani, kemudian terjadi perjanjian hiwalah, terbebaslah Ana dari utangnya pada Bani, sehingga Ceni tidak berhutang kepada Ana, karena utangnya padAna, sudah mengalihkan pada Bani dengan begitu Ceni wajib bayar utangnya tersebut pada Bani tidak lagi pada Ana (Toyyibi, 2019).

 

 

2) Syarat-Syarat

 

Hiwalah  Berikut  syarat-syara hiwalah  yang  dikemuka Hanafiya oleh  Al-Jaziri  dalam

 

(Sudiarti, 2018) yakni:

 

1. Muhil ialah sesorang yang mengalihkan utang.

https://www.blogger.com/img/img-grey-rectangle.pngMuhil wajib sudah balig serta berakal, namun jika dilakukan muhil masih anak kecil berakibat batal atau tidak sah.9

 

 

 

 

 

8 Neni Hardiati dan Januri, AL-HIWALAH DAN IMPLEMENTASINYA PADA PERBANKAN SYARIAH DI

TINJAU DARI KAIDAH FIQIH Neni” 3, no. 1 (2021): 6.

9 Nawawi Ismail, Fiqih Muamalah klasik dan kontemporer” (Bogor,2012), hal 181.


Syarat Muhil (Pemindah Hutang)10

 

a) Berkemampuan untuk melakukaakad (kontrak).

 

Dalam  hal  ini  hanya dapat  dimiliki  jika ia berakal  dan  baligh.  Hiwalah  tidak  sah dilakukan oleh orang tidak waras atau gila dan masih kekanak kanak an, karena ditakutkan tidak mampu dalammempertanggungjawabkan secara hukum.

b) Kerelaan muhil.

 

Dapat  disebabkan  karena hiwalah  memuat  tentang  pengertian  pelupusan  hak  milik sehingga tidak sah jika dilakukan secara paksa. Ibn Kamal mengatakan dalam Al-Idahbahwa syarat kerelaapemindah hutang diperlukan ketika berlaku tuntutan.

c) Beban muhil setelah hiwalah

 

Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungjawab muhil itu gugur/selesai. Katakanlah muhal ‘alaih mengalami kebangkrutaatau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah menurut pendapajumhur ulama.11

 

 

2. Muhtal yakni individu yang menerima hiwalah.

 

Muhtal wajib individu yang berakal dan sudah mampu secara hukum, jadi jika dibuat oleh yang tidak berakaatau gila maka hiwalahnya tidak sah.

Syarat Muhal (orang yang berpiutang kepada muhil/muhtal)

 

a) Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.

b) Kerelaadari Muhakarena tidasah jika hal itu dipaksakan.

 

c) Penerimaan penawaran hendaklah berlaku dalamajlis aqad. Ini adalah syarat beraqad.

 

 

 

3. Muhal'alaih ialah seseorang yang dihiwalahi, pun syartatnya jug sama harus memiliki kewarasan serta meridoi.

4. Terdapat utang Muhil terhadap Muhal alaih serta Muhtaterhadap Muhil.

5. Sehingga syarat syarat hiwalah yang berkaitan dengan utang yang di alihkan dari pihak kesatu, kedua maupun ketiga, yakni:


1) Syarat Muhil (Pengalihan utang)
12

 

Memiliki dua syarat yakni:


a. Memiliki kemampuan dalam melaksanakan perjanjiaakad.

 

Hal ini bisa di dapatkan bila ia memiliki akal sehat dan mampu. Hiwalah tidak sah jika di buat oleh seseorang yang kewarasannya terganggu dan anak-anasebab tak mampu atau belum bisa dipandang sebagai seseorang yang memiliki kemampuan hukum.

b. Adanya rasa rela bagi seorang Muhil.

 

Hal ini di karenakan hiwalah memiliki arti pelupusan hak miki sehingga tidak sah bila ia terpaksa. Ibn Kamal berkata dalam al Idah bahwasanya syarat kerelaan dalam pengalihan utang dibutuhkan waktu berlakunya suatu tuntutan. Kerelaan orang yang menerima pindahan utang yakni hal ini yang wajib dalam kegiatan hiwalah menurut para ulama seperti mazhab Hanafiah, Malikiah maupun Syafiiah memiliki pendapat bahwsanya nilai kerekaan seseorang yang menerima pindahan utang tersebut yakni sebuah hal yang harus dibuat dalam hiwalah sebab utang yang dialihkan ialah haknya, sebab itu tidak bisa di alihkan dari sebuah tanggungan individu pada individu lainnya tanpa ada sebuakerelaan (Nugraheni, 2017).

Mayoritas para ulama memiliki beralasan tentang ada tidaknya kewajiban muhal (orang yang menerima pindahan) dalam menerima hiwalah yakni sebab muhal alaih keadaannya yang memiliki ada perbedaan yang gampang melunasi dan ada pula yang melambatkan pembayaran. Sehingga dengan begitu, maka muhal alaih gampang dengan cepat dalam membayar tanggungannya, bisa dibilang bahwasanya muhal harus menerima hiwalah. Akan tetapi maka muhal alaih masuk dalam individu yang rumit dan suka menunda-nunda menyelesaikan utangnya, semua ulama memilik pendapat muhal tanpa mewajibkan dalam menetrima kegiatan hiwalah (Karim & Islam, 2006).

Bagi seorang Muhil memiliki persyaratan yakni, ia disyaratkan dalam berkewajiban kesatu, mempunyaberkemampuan dalam melaksanakaperjanjian atau akad. Hal ini untuk bisa dimiliki maka ia harus berakal sehat dan mampu. Sebab Hiwalah tidak sah jika dilaksankan oleh orang yang kurang waradan anakecil sebab ia belum bisa dipandang sebagai individu yang memiliki kemampuan secara hukum. Kedua, Muhil memiliki kerelaan. Ini di karenakan hiwalah memiliki maksud kepemilikan dengan begitu tidak sah bila dipaksakan. Di luar itu persyaratan ini diharuskan parahli fiqih terutama bagi meredam rasa kecewa ataupun menyingung yang mungkiakan dirasakan oleh seorang Muhil dalam melakukan perjanjian hiwalah (Siswanto, 2017).


2) Syarat Muhal (Pemiutang Asal) Ada tiga tiga syarat yakni:

 

a. Harus mempunyai kemampuan dalam melakukan akad. Hal ini setara dengan syarat yang wajib dipenuhi oleh Muhil.13

b. Kerelaan dari Muhal karena tidasah jika haitu dipaksakan.

 

c. Penerimaan penawaran harusnya berlaku untuk majlis aqad. Ini ialah persyaratan berkontrak dalam perjanjian. Pendapat para ulama seperti dari Malikiah, Syafiiah dan Hanabilah bahwasanya tidak ada syarat kerelaan muhal alaih, ini didasarkan pada hadist yang artinya: Bila salah satu individu diantara kamu sekalian dialihkan utangnya terhadap individu yang mampu, maka ikutilaatau menerima. (HR.Bukhari dan Muslim).

Selain itu, hak ada pada muhil dan juga boleh menerimanya sendiri maupun mewakilkan pada orang lain. Hanafiah menyatakan bahwa diisyaratkan adanya suatu kerelaan muhal alaih sebab setiap individu memiliki perbedaan sikap dalam memebereskan persoalan utang piutangnya, sebab tak harus melalui sebuayang tidak membuat keharusannyaPernyataan yang rajih (valid) yakni tidak ditentukan adanya kerelaan muhal alaih. Kemudian muhal alaih utangnya akan dibayar dengan kuantitas yang setara dengan siapapun dari keduanya (Rahmi,

2018).

 

3) Syarat Muhal Alaih (Penerima Pindah Hutang)14

 

Muhil dan Muhal harus berakal serta baligh.

Kerelaan disini berarti tidak memiliki unsur-unsur paksaan dalam menerima pengalihan utang, perjanjiannya tak sah, namun hal ini menurut ulama Maliki tidak mensyaratkan kerelaan dalam penerima hiwalah. Dalam penerimaan mestinya dibuat di dalam sebuah majlis akad. Abu Hanifah da Muhammad, menyatakan syarat ketiga dibawah ini yakni syarat perjanjian. Sehingga syarat yang berhubungan dengan Muhal Alaih. Kesatu, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, adanya sebuah kerelaan dari hatinya sebab tidak boleh adpemaksaan. Ketiga, ia harus menerima perjanjian hiwalah di dalam sebuah majliataupun di luar majlis. (Hermansyah, 2013).

4) Ketentuan MuhaBih (Hutang).

 


Para ulama berpendapat bahwa ada dua ketentuan dalam pelaksanaan pengalihan utang, yakni:

Dalam utang hendakanya berlangsung kepada piutang dan pengalihan utang. Seandainyaa bila bukan utang dalam peran akadnya menjadi perwakilan, kemudian aplikasinya hiwalah dalam wujud barang tidak sah, sebab dia tidak termasuk dalam tanggungan.

Hutang tersebut hendaklah berupa utang umum. Hutang yang tidak general tidak legal dipindahkan, seperti bayaran ganjaran yang mesti dibayar oleh seseorang yang dibenarkan menanggungnya melalui pembayaran, sebab hal tersebut utangnya tidak lazim. Sederhananya, setiap utang yang tidak sah tidakbisa di buat tujuan jaminan, dan dipindahkan (Nugraheni, 2017).

 

Kesimpulannya syarayang berkaitan dengan MuhaBih. Kesatu yakni, harus berwujud utang serta utang tersebut merupakan tanggungan dari seorang Muhil terhadapMuhal. Kedua, utang tersebut wajib berwujud utang secara umum maksudnya jika utang itu dapat dihapuskan melalui pelunasaataupun penghapusan.

5) Beban Muhil

 

Setelah Hiwalah Hiwalah yang berlangsung sah melalui sendirinya tanggung jawab sebagai muhil selesai. Sehingga muhal alaih mengalami kerugian ataupun membantah hiwalah atau juga meninggal dunia, sehingga muhal tidak diperbolehkan kembali lagi pada muhil, hal ini yakni menurut pernyataan ulama jumhur. Menurut madzhab Maliki, jika muhil sudah menipu muhal, ternyata muhal alaih individu yang fakir sehingga tidak mempunyai sesuatu apapun dalam membayarnya, dengan itu muhal boleh kembali lagi pada muhil. Imam Malik, mengemukakan orang yang menghiwalahkan utang terhadap pihak lain, selanjutnya muhal ‘alaih mengalami kerugian atau meninggalkan dunia dan ia belum bisa bayakewajibannya, sebab muhal tidak boleh kembali bagi muhil Abu Hanifah, Syarih dan Ustman memiliki opini bahwasanya jika dalam kondisi muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, sehingga seseorang yang memberikan utang akan balik lagi terhadap muhil dalam menagihnya (Jafar, Bahar, & Lusiana, 2013).

 

6) Jenis-Jenis Hiwalah

 

Adapun jenis-jenis hiwalah sebagaberikut:

 

a. Hiwalah Muthlaqoh

 

Hiwalah Muthlaqoh terjadi jika seseorang yang berhutang (pihak kesatu) terhadap seseorang (pihak kedua) dalam mengalihkan hak penagihannya terhadap pihak ketiga tanpa


didasari pihak ketiga tersebut memiliki utang terhadap orang kesatu.15  Contohnya: Jika Ana berhutang terhadap Bani dan Ana mengalihkan hak penagihan Bani terhadap Ceni, sedangkan Ceni tidak memiliki hubungan utang pituang kepada Bani, dengan begitu hiwalah ini bernama Muthlaqoh. Namun hanya terdapat dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengkategorikan jenis hiwalah ini sebagai kafalah (Mawardi & Susanti, 2019).

b. Hiwalah Muqoyyadah

 

Bilamana ada kegaitan bila Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal terhadap Muhal Alaih sebab terakhir ada utang terhadap Muhal, hal ini disebut Hiwalah Muqoyyadah. Hiwalah ini yang bolehkan (jaiz) yang di dasarkayang di sepakati para ulamaKetiga madzhab selain madzhab hanafi mengemukakan bahwasanya hanya membolehkan hiwalah muqayyadah dan menciptakan ketentuan terhadap hiwalah muqayyadah supaya utang muhal terhadap muhil dan utang muhal alaih terhadap muhil wajib setara, baik sifat maupun jumlahnya. Bila telah serupa jenis dan jumlahnya, sehingga salah hiwalahnya.Namun bila salah satunya memiliki perbedaan, haini menjadikan hiwalah tidak sa(Nugraheni, 2017)

 

 

Hiwalah Jika ditinjau dari segi obyeknya terdapat dua objek, yakni a. Hiwalah Haq

Hiwalah ini ialah pengaliahn piutang dari satu piutang terhadap piutang yang lain dalam wujud uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil ialah pemberi hutang yang mengalihkan haknya pada pemberi hutang pihak lain sementara orang yang berhutang tidak berganti, yang berganti ialah piutang.

b. Hiwalah Dayn Hiwalah ini ialapengalihan utang terhadaorang lain yang memiliki utang untuknya yang memiliki perbedaan dari hiwalah Haq. Sehingga hakikatnya hiwalah dayn setara dengan pemahaman dengan hiwalah yang sudah dikemukakan terdahulu.

 

 

7) Berakhirnya Akad Hiwalah

 

Hal-hal yang mengakibatkan hiwalah bisa berakhir yakni :

 

a. Adanya pembatalan atau fasakh. Sehingga ini terjadi jika akad hiwalah belum dibuat sampai tahapan akhir lalu dibatalakn. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal dapat kembali lagi


terhadap Muhil.

 


b. Hilangnya hak Muhal Alaih disebabkan karena ia meninggal dunia atau terjadi kebangkrutan ataupun ia mengingkari adanya perjanjian hiwalah sedangkan Muhatidak bisa menghadirkan bukti atau saksi.

c. Jika Muhal alaih sudah melakukan tanggungjawabnya terhadap Muhal. Hal ini yang berarti akad hiwalah betul-betul telah dicukupi oleh semua pihak.

d. Muhal meninggal duni sedangkan Muhal alaih mewarisi harta hiwalah sebab pewarisan ialah salah satu penyebab kepemilikan. Namun bilakad ini hiwalah muqoyyadah, sehingga akan berakhir sudah, akad hiwalah itu menurut madzhab Hanafi.

e. Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah terhadap Muhal Alaih dan ia pun menerimanya sedekahnya itu.

f. Jika Muhamenghapusbukukan kewajibamembayar hutang kepada Muhal Allah.

 

 

 

8) Produk Hiwalah pada Bank Syariah

 

Dalam kegiatan perbankan Syariah Hiwalah sebuah produk fasilitas yang umumnya agar bisa  membantu  supplier  menghasilakn  modal  tunai  supaya  bisa  melanjutkan  usahanya.16

Sehingga  bank  dapa ganti  biaya  atas  jasa  pemindaha hutang.17   Dala mengantisipasi

 

kerugian yang bisa saja timbul, dalam hal ini bank butuh kegaitadalam penelitiaatas kemampuan pihak yang berhutang dakebenaran suatu transaksi di antara yang mengalihkan utang dengan yang berhutang tersebut. Sebab keperluan supplier akan di likuiditas, sehingga ia meminta bank untuk mengalih piutang. Melalui kegiatan tersebut Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek (Huda & Heykal, 2010)

 

 

Akad hiwalah pada umumnya diimplementasikan kepada hal-hal berikut ini yaknit:

 

1. Factoring atau anjak piutang,

 

Dimana para nasabah yang mempunyai piutang terhadap pihak ketiga mengalihkan piutang itu pada bank, kemudian bank membayar piutang dan bank menagihnya dari pihak ketiga.

2. Post-dated check,

 

Haini bank bertindak sebagajuru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.

 

 3. Bill discounting.

 

Secara prinsip, bill discounting setardengan hiwalah. Hanya saja, dalam bill discounting nasabah hanya membayar fee, sementara pembahasan fee tidak di dapati dalam perjanjiaal hiwalah.

 

 

9) Akad Hiwalah yang Terlarang

 

Beberapa bentuk akad hiwalah yang melanggar aturan hukum islam adalah sebagai berikut : a. Menjual Utang tak tertagih

Kejadian ini sering terjadi dan sering dilakukan oleh seseorang atau lembaga keuangan dengan cara menjual utang yang sulit tertagih contohnya jual beli utang dilakukan dengan nilai yang lebih rendadari jumlahnilai utang yang tak tertagih.

Contohnya: si A mempunyai piutang kepada si B sebesar 5 juta rupiah.18 Karena piutang

 

si A yang ada pada si B sulit tertagih maka si A menjual piutangnya kepada si C sebesar 4 juta rupiah. Dengan demikian si C mendapat keuntungan sebesar 1 juta rupiah meskipun piutang belum pasti tertagih. Kejadian seperti ini jelas dihukumi riba. karena dalam akad jual beli harus ada barang atau jasa yang diperjualbelikan, sedangkan yang terjadi dalam hal ini yang diperjualbelikan adalah piutang. Padahal di dalam aturan agama piutang tidak boleh dijadikan objek yang dapat menghasilkan manfaat. Rasulullah Saw. Bersabda : Dilarang (tidak boleh) melakukan transaksi salaf bersamaan dengan transaksi jual-beli. (H.R Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, daIbnu Majah). Yang dimaksud dengan salaf adalh “piutang, diriwayatkan oleh sahabat Ubay bin Kaab, Ibnu Mas’ud, san Ibnu Abbas R.a bahwa mereka melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Maka dari itu jika pemberi piutang mempersyaratkan suatu manfaat, berarti akad piutang tersebut telah keluar dari tujuan utamanya.

 

 

b. Menjual Giro (CeMundur)

 

https://www.blogger.com/img/img-grey-rectangle.pngPraktik ini juga sering dilkukan oleh seseorang ketika mereka dalam keadaan membutuhkan uang yang bisa diperoleh dengan cepat sebelum tanggal pencairan giro. Diantara mereka menjual giro dengan harga dibawah nilai yang sudah tertera dalam giro tersebut, hal ini jelas dihukumi riba karena sama persis dengan jual beli piutang atay piutang dijadika objek yang dapat menghasilkan manfaat. Contohnya, si A memiliki giro senilai 3 juta, dan itu bisa dicairkan pada tanggal 12 februari 2020. Kemudian, sepuluh hari sebelum pencairan yaitu


tanggal 2 februari 2020, giro tersebut dijual kepada si B senilai 2 juta. Dengan demikian si B mempunyai keuntungan sebesar 1 juta yang bisa dicairkan pada tanggal 12 februari 2020. Dalam akad seperti ini gironya adalah tumpang tindih. Dalam hal ini gironya sudah mengandung riba karena adanya Gharar (ketidakpastian), apakah masih bisa dicairkan atau tidak. Bisa jadi ketika pencairan ternyata giro itu kosong.

 

 

D. Teknisi Pelaksanaan Hiwalah

 

1. Aplikasi Akad Hiwalah TerhadaPerbankaSyariah

 

Dalam praktek perbankan syariah ffasilitas hiwalah umumnya untuk membantu suplier dalam mendapatkan modal tunai sehingga mereka dapat melanjutkan kegiatan usahanya. Dalam ini bank mendapat upah ganti biaya atas jasa pemindahan hutang.19  Untuk mengantisipasi dan mengatasi kerugian yang akan terjadi pihak bank perlu melakukan penelitiaatas kemampuan pihak yang berhutang daadanya kebenaran transaksi antara yang berhutang dan yang memindahkan hutang. Karena kebutuhan suplier akan di likuiditas, maka ia meminta pihak bank untuk mengakihkan pitang dan ban akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

Kontrak hiwalah biasanya diterapkadalam hal-hal seperti dibawah ini :

 

aFactoring ( Anjak piutang),

 

Dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dabank menagihnya dari pihak ketiga. 20

b. Post datecheek,

 

Dimana bank bertindasebagajuru tagih tanpa membayarkan dulu piutang tersebut. c. Bill discounting,

Secara prinsip serupa dengan hiwalah, hanya saja dalam bill counting nasabah hanya membayafee, sedangkan pembahasan fee tidadisepakati dalam kontrak hiwalah.

 

 

Secara umum dapat dikemukakan bahwa setiap produk bank syariah, termasuk produk pelayanan jasa perbankan syariah tidak terlepas dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang mengeluarkan fatwa terkait produk perbankan syariah, agar suatu produ yang  dikeluarkannya  berlandaska prinsip  syariah.  Salah  satunya  adalah  produk

https://www.blogger.com/img/img-grey-rectangle.pngpelayanan jasa perbankan syariah dengan akad hiwalah. Dikeluarkannya produk pelayanan jasa dengaakad hiwalah didasarkan pada pertimbangan bahwa terkadang seseorang tidak mampu untuk membayar hutang kepada orang lain secara tunai, oleh karena itu, agar pihak yang memberi hutang tidak merasa dirugikan, maka pihak yang berhutang mengalihkan hutangnya kepada pihak lain atau kepada bank syariah.

Atas dasar itulah, maka DSN-MUI mengeluarkan fatwa terkait dengan akad hiwalah antara lain yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor 12/DSNMUI/IV/2000 tentang Hiwalah. Landasan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya fatwa hiwalah yaitu hadist riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang artinya Menunda pembayaran bagi yang mampu adalah kezaliman. Dan jika seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu, terimalah hiwalah itu. Hadist ini merujuk pada keabsahan akad hiwalah.

Pada hadist tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang berutang (muhal ) sehingga haknya dapat terpenuhi. Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulamadalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah. Imam Daud dan Ahmad berpendapat bahwa perintah dalam hadist itu menunjukan wajib, jadi wajib untuk menerima hiwalah tersebut. Hadist ini menunjukan bahwa akad hiwalah adalah sah dan diperbolehkan oleh syariah.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 merupakan peraturan yang hanya menjelaskan hal-hal umum yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip syariah baik pada karakteristik produk maupun operasional bank  syariah, sedangkan teknis pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.10/14/DPbS. Teknis pelaksanaan akad hiwalah yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.10/14/DPbS menjelaskan teknis pengalihan utang atas dasar hiwalah muthlaqah dan hiwalah muqayyadah yang keduanya merupakabentuk darakad hiwalah.

Pelaksanaa hiwalah  muthlaqa yang  diatur  dalam  Sura Edara Bank  Indonesia

 

No.10/14/DPbS berlaku persyaratan sebagai berikut:

 

Bank bertindak sebagai pihak yang menerima pengalihan utang atas utang nasabah kepada pihak ketiga.

Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik pemberian jasa pengalihan utang atas dasaakad hiwalah, serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenatransparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah.

Bank wajib melakukan analisis atas rencana pemberian jasa pengalihan utang atas dasar akad hiwalah bagi nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisis karakter dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisis kapasitas usaha, keuangan, dan prospek usaha.

Bank dan nasabawajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pengalihan utang atas dasar hiwalah. Nilai pengalihan utang harus sebesar nilai nominal.

Bank menyediakan dana talangan (qardh) sebesar nilai pengalihan utang nasabah kepada pihak ketiga.

Bank dapameminta imbalan (ujrah) atau fee batas kewajarapada nasabah, dan

 

Bank dapamengenakan biaya administrasi dalam batas kewajaran kepada nasabah.


 

 

A. Kesimpulan


PENUTUP


 

Al-Hiwalah berarti memindahkan (al Tahwil) utang dari tanggungan pihak ashil (dalam hal ini ialah al-Muhil) ke tanggungan pihak al-Muhal alaihi dalam bentuk Al- Tawatstsuq (Penguatan, Penjaminan). Dasar hukum hiwalah terdapat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 280 dan 282. Dasar hukum hiwalah juga diatur dalam hadist Bukhari Muslim, ijma dan legitimasi dalam KHES pasal 319-328. Rukun hiwalah terdiri dari muhil, muhal atau muhtal, muhal alaih, muhal bih dan pernyataan hiwalah. Syarat hiwalah terdiri dari muhil (berkemampuan untuk melakukan akad, kerelaan muhil, dan beban muhil setelah hiwalah), muhtal (berkemampuan untuk melakukan akad, kerelaan muhtal dan penerimaan penawaran), Muhal alaihi (berkemampuan untuk melakukaakad dan kerelaan muhal alaihi), hutang muhil terhadap muhal alaih serta muhtal terhadamuhil. Jenis hiwalah terdiri dari hiwalah muthlaqoh dan muqoyyadah. Apabila dilihat dari obyeknya dibagi menjadi hiwalah haq dan hiwalah dayn.

Hiwalah berakhir karena beberapa sebab diantaranya adanya pembatalan atau fasakh, hilangnya hak Muhal Alaih disebabkan karena ia meninggal dunia atau terjadi kebangkrutan ataupun ia mengingkari adanya perjanjian, Jika Muhal alaih sudah melakukan tanggungjawabnya terhadap Muhal, Muhal meninggal dunia sedangkan Muhal alaih mewarisi harta hiwalah sebab pewarisan ialah salah satu penyebab kepemilikan, Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah terhadap Muhal Alaih dan ia pun menerimanya sedekahnya itu dan Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Allah. Produk hiwalah pada bank syariah menggunakaakad hiwalah yang diterapkan pada anjak piutang, Post-dated check, dan Bill discounting. Akahiwalah yang dilarang meliputi menjual utang tak tertagih dan menjual giro. Aplikasi pelaksanaan akad hiwalah di bank syariah diterapkan dalam pelaksanaaanjak piutang, Post-dated check, dan Bill discounting.


 

B. Saran

 

Untuk para pembaca semoga dengan makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta dapat memberikan informasi terkait Hiwalah Dengan demikian kitakan lebih memahami mengenai pengertian , dasahukum , jenis-jenis, syarat dan rukun dalaHiwalah.

 

Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah kami.


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Doli Witro. Qaidah Furu’ Fi Al-Hiwalah: Sebuah Tinjauan Umum Qaidah Furu’ Fi Al-

 

Hiwalah: An Overview.” Qawãnïn Journal of Economic Syaria Law 5, no. 1 (2021): 1

 

12.

 

Fiqih Kontemporer Perbankan, Matakuliah, and FakultaSyariah Dan Ekonomi Islam. IMPLEMENTASI HIWALAH DLEMBAGA KEUANGAN SYARIADITINJAU DARI PRESEPEKTIF FIQIH’ Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Persyaratan” (n.d.).

 

M. Rizki Naufal., SH.


Aplikasi Akad Hawalah Dalam Pengambil-Alihan Hutang Dari Perbankan Konvensional (Analisis Terhadap Akad Hawalah PerbankaSyariaPT. Bank Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta Kantor Cabang Syariah Cik Ditiro).” Universitas Islam Indonesia (2018): 1–173.

 

Neni Hardiati daJanuri. AL-HIWALADAN IMPLEMENTASINYA PADPERBANKAN SYARIADI TINJAU DARI KAIDAH FIQIH Neni” 3, no. 1 (2021):

6.Syariah, Perbankan. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (JakartaRajaGrafindo Persada,

 

2008), h.1 1” (2008): 1–15.

Karim, Adiwarman. 2010. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : Rajawali Press Nawawi, I. (2012)Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer . Bogor : Ghalia Indonesia . Idris Ahmad, 1896 Fiqh al-Syafiiyah, Jakarta, Karya Indah, Imam mustofa, 2015 Fiqh

muamalah kontemporer, yogyakartaKaukaba dipantara.

 

Sohari Sahrani & Ru'fah Abdullah . (2011). Fikih Muamalah . Bogor : Ghalia Indones

 


Komentar

Postingan Populer